Senin, Desember 01, 2014

Demokrasi di Dunia Islam, Manfaat atau Madharat?


Selama ini diskusi mengenai Islam dan demokrasi umumnya berkisar pada masalah-masalah apakah demokrasi sesuai dengan Islam atau tidak. Diskusi ini menggiring opini menuju pada penentuan hukum boleh tidaknya demokrasi diamalkan oleh umat Islam. Jika boleh berarti ada kesepadanan atau minimal ada irisan yang bisa diterima antara demokrasi dengan Islam. Jika tidak, berarti dmokrasi dianggap sesuatu yang sama sekali tidak ekuivalen dengan Islam.
Pada diskusi tentang hukum mengenai demokrasi dari sudut pandang Islam setidaknya ada tiga pendapat.

Pertama, pendapat kalangan liberal yang cenderung pada pemikiran sekuler. Pendapat ini cenderung secara gebyah-uyah menyatakan demokrasi sesuai dengan ajaran Islam mi’ah bil mi’ah.

Kedua, pendapat yang secara tegas menolak demokrasi. Demokrasi tidak sesuai sama sekali dengan Islam. Ajarannya kufur dan bathil karena meletakkan kedaulatan Allah Subhanahu Wata’ala di bawah kedaulatan manusia yang bisa menentukan apa saja melalui mekanisme demokrasi, termasuk mengoreksi ketentuan dari Allah Subhanahu Wata’ala .

Ketiga, pendapat yang menganggap demokrasi tidak sepenuhnya sesuai dengan Islam dan tidak pula sepenuhnya bertentangan. Ada aspek-aspek tertentu dalam demokrasi yang memang tidak bisa diterima dalam Islam.

Misalnya soal falsafahnya yang menganggap manusia sebagai pemilik kedaulatan tertinggi sehingga segala persoalan dapat diputus melalui kesepakatan antar-manusia. Pada aspek ini jelas demokrasi bertentangan dengan prinsip aqidah Islam yang menyerahkan sepenuhnya segala kedaulatan pada Allah Subhanahu Wata’ala.

Bila Allah Subhanahu Wata’ala sudah menetapkan sesuatu maka kewajiban hamba-hambanya hanyalah sami’nâ wa atha’nâ (kami mendengar, kami melaksanakan, red).

Akan tetapi, pada teknis pelaksanaannya dalam pengambilan keputusan di luar itu, demokrasi sesungguhnya ada kesesuaiannya dengan Islam. Islam mengajarkan praktik yang hampir mirip, yaitu syûrâ (musyawarah).

Musyarah sekalipun tidak sepenuhnya mirip demokrasi, sama-sama menghormati pendapat manusia banyak dalam menetapkan keputusan. Hanya saja, perkara-perkara yang sudah terang diatur Allah Subhanahu Wata’ala tidak dapat diubah melalui musyawarah.

Oleh sebab itu, pendapat terakhir ini berkesimpulan bahwa demokrasi boleh digunakan sepanjang bukan untuk mengubah sesuatu yang sudah menjadi hak prerogatif Allah Subhanahu Wata’ala.

Wacana di atas tentu saja hanya berkembang di negara-negara Islam yang selalu ingin mencari kebenaran melalui kerangka pikir agamanya.

Sayang walaupun berkembang pemikiran yang kontra sama sekali terhadap demokrasi, namun pada umumnya hampir seluruh negara Islam selepas kolonialisme Eropa menerima demokrasi sebagai mekanisme politik yang mereka jalankan.

Alhasil, walaupun ada yang tidak setuju dengan demokrasi, tetap sistem ini mau tidak mau menjadi alternatif yang paling banyak dipilih. Hanya beberapa negara Islam, terutama di negara-negara pecahan Arab yang tidak menggunakan sistem ini.

Itupun dalam hal-hal tertentu seperti penyelenggaraan parlemen hasil pilihan rakyat tetap dijalankan, sekalipun penguasanya adalah “raja” yang dinobatkan tanpa melalui mekanisme demokrasi.

Kemaslahatan

Sebetulnya, untuk mendiskusikan kembali hubungan Islam dan demokrasi setelah puluhan tahun dijalankan oleh negara-negara Islam tidak cukup hanya berhenti pada analisis hukum yang hanya bicara boleh dan tidaknya demokrasi dijalankan secara normatif.

Analisis harus diarahkan pada persoalan lain, yaitu kemaslahatan umat setelah berbagai model demokrasi di negara-negara Islam dijalankan. Dalam hal ini, bukan hanya persoalan kesejahteraan semata, melainkan mashâlih syar’iyyah ‘âmmah (kemashlahatan yang syar`I secara umum) yang di dalamnya mempertimbangkan aspek agama (dîn) dan kesejahteraan (keterjagaan nyawa, akal, harta, dan reproduksi).

Apakah selama ini, saat demokrasi menjadi pilihan negara-negara Islam mashâlih syar’iyyah dapat diwujudkan? Apabila persoalan ini menjadi pertimbangan, maka analisis hukum bergeser dari fiqih tekstual yang hanya mempertimbangkan aspek legal-formal ke fikihmashâlih yang mempertimbangkan aspek kemanfaatan hukum untuk kemaslahatan umum seperti yang dikembangkan oleh Imam Asy-Syathibi.

Untuk menemukan data yang lebih akurat dan detail tentang aspek maslahat-madharat setelah demokrasi diterapkan di berbagai negara Islam tentu tidak dapat dijelaskan dalam tulisan singkat ini. Hanya ada dua pemikiran dasar penting yang harus menjadi kerangka untuk menghimpun berbagai data di atas.

Pertama, analisis harus diarahkan pertama pada persoalan “agama” (dîn) Islam. Masalah ini penting karena kemaslahatan pertamadalam syari’at adalah terjaganya agama dari kehancuran (hifzh al-dîn).

Oleh sebab itu, dalam Islam salah satu tujuan utama penyelenggaraan kekuasaan adalahhirâsah al-dîn (memelihara agama) agar tetap bisa diamalkan seutuhnya. Bagian ini harus selalu disertakan dalam analisis mengenai demokrasi karena dalam pengamatan sementara hal yang paling banyak dirugikan setelah demokrasi dipraktikkan adalah agama.

Memang ada kebebasan beragama dalam demokrasi, namun saat agama memenangkan pertarungan kekuasaan, maka pada saat itulah agama menjadi musuh demokrasi nomor satu. Agama akan segera disingkirkan dari panging kekuasaan demokrasi oleh tangan-tangan yang tidak kasat mata (invisible hand).

Kedua, yang harus menjadi perhatian berikutnya adalah masalah kesejahteraan yang dalammashâlih syar’iyyah terdiri atas pemeliharaan jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Sesungguhnya seringkali demokrasi tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyatnya. Banyak negara yang dinilai tidak demokratis seperti Saudi Arabia, Singapura, dan Libya (semasa Kadafi) dapat menyejahterakan sebagian rakyatnya. Ini menunjukkan korelasi yang negatif antara demokrasi dengan kesejahteraan rakyat. Pada aspek ini dapat saja kita membandingkan satu negara sebelum menggunakan demokrasi dan sesudahnya.

Bisa jadi ada negara yang sebelumnya tidak demokratis seperti Indonesia, kemudian memilih demokrasi dapat relatif berkembang kesejahteraannya dibandingkan dengan masa lalu. Akan tetapi, akan terlalu simplisistik kalau kemudian kesejahteraan itu disebabkan oleh demokrasi.

Melalui dua kacamata itu, sebetulnya secara umum demokrasi tidak selalu memberikan maslahat. Bahkan, dalam hal agama, demokrasi jutsru menghambat pelaksanaan agama secara paripurna oleh para pemeluknya.

Dalam demokrasi lebih berbunyi kalimat “pluralisme” daripada agama. Oleh sebab itu, di negara-negara Islam yang menerapkan demokrasi posisi agama (Islam) menjadi lebih terancam keberadaannya. Belum lagi, demokrasi di negara-negara Islam justru membuka celah masuknya kekuatan-kekuatan asing yang juga sangat bersemangat untuk membendung laju perkembangan Islam, baik sebagai komunitas maupun ajaran.

Jelaslah bila demikian, demokrasi sesungguhnya amat merugikan saat dilaksanakan oleh negara-negara Islam. Kalau memang demokrasi memberikan madharat, maka pertanyaan selanjutnya dalam tulisan ini adalah: “Apa yang harus kita gunakan untuk menggantikan demokrasi?” Pertanyaan ini harus terlebih dahulu diajukan sebelum pertanyaan berikutnya timbul: “Bagaimana caranya demokrasi digantikan dengan sistem alternatif lain?” Pertanyaan-pertanyaan ini nantinya akan membantu kita memutuskan bagaimana sikap kita terhadap sistem ini.

Senin, November 10, 2014

Dengarkan Wahai Muslimin dan Muslimat!



Kekalahan Peradaban Barat terbukti dari tindakan-tindakannya yang menunjukkan keputus asaan. Pendudukan, penyiksaan, penahanan, propaganda, bukanlah tindakan-tindakan dari peradaban yang kuat, melainkan tindakan dari peradaban yang sakit.
Propaganda melawan Islam, pengemban syariah, Khilafah, dan dakwah adalah karena pemerintah-pemerintah Barat mengetahui bahwa mereka sedang menghadapi kebangkitan kembali Islam di seluruh dunia. Tindakan mereka seperti usaha membuat parit yang terakhir dari peradaban kapitalis yang sedang tenggelam.
Maka, kokohkanlah keyakinan anda, berikan loyalitas anda kepada Dien (Al-Islam) dan Umat. Jangan biarkan penyesatan yang membuatmu lemah, karena tingkatan ini hamper usai. Tidak lama lagi, situasi akan berubah cepat. Tanda keberhasilan perjuangan menuju Khilafah semakin Nampak jelas. Tahapan menuju kemenangan sudah semakin mendekat dari hari ke hari.
Keimanan kita pada Allah SWT adalah sangat besar dan harapan kita akan kemenangan yang dekat ini tidak tersentuh bahkan dengan sebuah ucapan. Dan Allah SWT maha berkuasa atas segala urusan-Nya, tapi kebanyakan manusia tidak tahu, dan Dia, segala puji bagiNya, berfirman:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa.”. (TQS. An-Nur [4]: 55)

Pendidikan Islam, Saatnya Bangkit dari Keterpurukan



Memasuki abad ke-21, harus diakui bahwa umat Islam tertinggal jauh dengan peradaban Barat. Menjadi ke niscayaan yang tidak bias ditawar bahwa dalam proses penyehatan dan menyegarkan peradaban Islam yang lemah adalah dengan memperbaiki system dan tujuan pendidikan Islam. Tanpa itu, membangun umat Islam dari ‘tidur panjang’ adalah sebuah utopia.

Prof.Dr.Sidiek Baba dari Universitas Islam Antar bangsa Malaysia menyatakan, umat Islam harus menyadari, didalam Al Quran terdapat hampir 200 ayat tentang ilmu pengetahuan. Azasinilah, kata Sidiek, yang melahirkan sejumlah besar ilmuwan dan saintis Islam yang mengawali tradisi ilmu dengan tradisi hafalan, taksir, ketrampilan berbahasa, falsafah, logika, dan musik.

‘’Kemudian menemukan bidang ilmu lain seperti matematika, astrologi, kesehatan, sains, dan teknologi hingga akhirnya mampu menampilkan peradaban yang unggul”… Selain itu adanya kemorosatan hubungan ulama-ilmuawan dengan umara atau pemimpin karena pemimpin lebih mementingkan politis,’’

Intelektual Muslim asal Malaysia Osman Bakar menyatakan, sebenarnya ilmuwan yang baik dan Muslim yang baik bukan dua perkara yang saling bertentangan. Dari segi teori ajaran Islam, lanjut dia, pembentukan ilmuwan baik yang berjiwa Islam adalah kondisi yang wajar. ‘’Sejarah Islam telah membuktikan, kemajuan itu pernah tercapai,’’ cetusnya.

Untuk mengembalikan kejayaan peradaban Islam,  kemajuan ilmu pengetahuan Muslim didunia tergantung system pendidikan yang kemudian mengikuti transmisi dan implantasi pengetahuan secara holistik. ‘’Sistem pendidikan Islam sebaiknya berdasarkan pengetahuan agama, tapi pada saat yang sama berisi ilmu pengetahuan,

Selain itu, dukungan dana penyelenggaraan pendidikan dari pemerintah dan warga Muslim yang tergolong kaya belum memadai bagi upaya meningkatkan mutu pendidikan pesantren dan madrasah. Padahal, warga Muslim memiliki ribuan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sebenarnya siap untuk dikembangkan menjadi lembaga-lembaga pendidikan modern dengan biaya yang jauh lebih murah dari pada membangun yang baru.

Tak ada alasan sama, pesantren tak mampu atau tak mau mengembangkan universitas bagi upaya meningkatkan pengembangan ilmu pengatahuan masyarakat Muslim. ‘’Yang mereka perlukan adalah akses kekekuasaan pemegang kebijakan yang memiliki kemauan dan menyediakan educational resources yang mereka perlukan untuk memajukan lembaga-lembaga mereka,’’

Pakar pendidikan Islam Indonesia, menyatakan, dalam menentukan arah pendidikan yang tepat, modernisasi tak berarti sekulerisasi. ‘’Karena itu upaya menuju integrasi ilmu sekuler-ilmu agama, itu seperti apa dan bagaimana caranya?’’, kondisi seperti itu memerlukan para elite dan tenaga pendidikan untuk menyamakan persepsi mengenai integrasi ilmu dan bagaimana menerapkannya dalam system pendidikan Islam.

Dalam hal ini pendidikan Islam perlu mengembangkan istilah-istilah studi Islam yang cocok dan konsisten. ‘’Dengan mengembangkan konsep-konsep Quran dan Hadits dalam ilmu-ilmu keagamaan dan sains, selain menerjemahkan dan pembumian atau lokalisasi ilmu umum dalam pengajian dan studi Islam,’’

  Reconnect with Qur’an: Menyingkap Rahasia dibalik Angka 19 dalam Al-Quran   Al-Quran adalah mukjizat sekaligus kitab suci terakhir y...