Rabu, Februari 24, 2021

Penguntit

 





Matahari sudah mulai condong ke barat tatkala ia membereskan beberapa keperluan. Setelah berpamitan sembari menyalami beberapa rekannya, ia beranjak. Berjalan dengan langkah yang tidak bisa dibilang bersemangat juga. Ada hal lain yang terus membuntutinya sampai ia terpaksa bergulat untuk memenangkan dirinya sendiri.

Manusia itu mendadak berbisik, menggelengkan kepalanya berkali-kali seolah itu merupakan salah satu ritual pengusir. “Pergi.”

“Kemana?” penguntit itu seolah tengah mengejeknya.

“Sejauh yang kamu bisa.”

Sayang sekali, nampaknya dia bebal –menutup pendengarannya rapat dan justru terus terkekeh di sepanjang jalan. Padahal tawa manusia itu sudah menghilang sedari tadi, terdesak oleh dia yang sedang menguasai alam pikirnya. Seandainya bisa, ia benar-benar ingin melenyapkan penguntit itu dari hadapannya saat ini juga. Namun, alih-alih menggertak dengan lantang atau menendangnya pergi, manusia itu justru hanya menghela napas kasar, melajukan langkahnya semakin cepat untuk sampai ke rumah.

Hari itu, mentari sudah meringkuk ke peraduan, digantikan rembulan setengah lingkar yang bersinar redup seolah sedang membumbui dramatisnya perjumpaan manusia dengan dirinya sendiri. Harapan bahwa sang parasit itu tidak mengikutinya hingga terjun ke alam mimpi, nampaknya hanya angan semata. Hingga malam semakin lengang, netranya masih terbuka lebar. Bergelut dengan sang parasit yang dengan santainya mengajak berbincang. Pillow talk, katanya.

“Mau sampai kapan kamu mau ikut terus seperti ini?” bisiknya. Tentu dengan wajah kesalnya yang kentara.

“Yah-” terdapat beberapa detik keheningan. “Sampai kamu benar-benar lupa masalahmu, ‘kan?”

“Iya, aku dah lupa sekarang.”

“Serius?” tawanya semakin lebar, menampakkan rupa kelam yang sialnya tercetak semakin jelas. “Tapi sampai sekarang kamu masih sibuk mikir, ‘gimana ya, aku kayanya nggak bisa’, ‘duh, dia mah lebih hebat. Masa aku yang mau maju, sih?’, ‘Nggak usah deh. ‘Kan udah ada dia yang lebih bisa dari aku’ Hello?! Beneran dah lupa nih?”

“Seriusan.” Ringisnya, berusaha menahan sesak yang seolah tengah menunggu untuk dihembuskan satu per satu. Entah dari kapan, gigitan kecil di ujung bibirnya sudah mengendur, menghasilkan isak kecil yang untungnya tak sampai membelah heningnya malam.

“Kamu punya kekuatanmu sendiri. Kenapa takut dibandingkan, coba? Kamu sebenernya nggak takut mencoba, kamu cuma takut gagal dan kalah untuk kesekian kalinya. Kamu nggak takut maju di keramaian, kamu hanya takut mereka berbicara yang enggak-enggak tentangmu. Setuju?”

Manusia itu tanpa sadar menahan napasnya. Mendengar baik-baik paparan sang penguntit yang entah mengapa tiba-tiba bisa menjadi bijak juga. “Kalau sudah mundur bahkan sebelum berperang, namanya pengecut. Sadar nggak situ? Gimana mau mengukur kemampuan kalau tes aja nggak dilewati? Sejatinya manusia itu pergi dari satu masalah ke masalah lainnya. Hadapi, jangan dihindari. Belajar dewasa, belajar menghargai proses. Ayo dong!” entah mengapa nada suaranya naik beberapa oktaf, benar-benar menambah sesak yang sedari tadi terus menumpuk.

“Mau mundur?!” semprotnya, mendapati wajah sang manusia yang sudah sembab bahkan mungkin sebelum percakapan ini dimulai. “Jangan cuman dipikir, nanti nggak akan selesai. Lakukan.” Tambahnya.

Hingga kalimat terakhir selesai terlontar, manusia itu akhirnya mengerjap beberapa kali. Sembari menarik napas dalam-dalam, ia tampak terperangah. Sesak yang terasa menyiksa itu tak sepenuhnya hadir. Beberapa sudah menguap entah kemana. Oh? Tidak ada siapapun di ruangannya. Tidak ada yang namanya penguntit. Tidak ada yang terus menerus membuatnya melekungkan bibir kebawah hari ini. Hanya ia, yang sibuk bergelut dengan ‘parasit’ yang sejatinya adalah pikirannya sendiri. Si insecurity dan Overthinking yang menemaninya sedari tadi. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pandangan dan Hukum Mengapa Pacaran Dilarang Menurut Islam

  oleh bidang Tabligh PK IMM Al-Ghozali Pacaran, sebagai budaya populer di banyak budaya, sering kali bertentangan dengan nilai-nilai dan ...