Mengungkap Kebenaran tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga: Faktor Penyebab dan Dampaknya
Bidang Immawati dan Medkom Komisariat Al Ghozali
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga. Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi
setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga
korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(PPPA) mencatat, sebanyak 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di
Indonesia sepanjang 2022. Jumlah tersebut meningkat 15,2% dari tahun sebelumnya
sebanyak 21.753 kasus. Menurut usianya, 30,3% perempuan yang menjadi korban
kekerasan berusia 25-44 tahun. Ada pula 30% perempuan yang menjadi korban
kekerasan berusia 13-17 tahun. Dilihat dari tempat kejadian, 58,1% kekerasan
terhadap perempuan terjadi di lingkup rumah tangga. Kemudian, 24,9% kekerasan
terhadap perempuan terjadi di tempat lainnya. Sementara dari provinsinya,
jumlah perempuan korban kekerasan paling banyak di Jawa Timur, yakni 2.136
orang. Posisi setelahnya ditempati oleh Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan
perempuan yang menjadi korban kekerasan berturut-turut sebanyak 2.111 orang dan 1.819 orang.
Diatur pada Pasal 44 UU KDRT tentang ketentuan pidana bagi
pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dalam Pasal 44 UU No. 23 Tahun 2004
tentang KDRT ini memuat aturan terkait hukuman atau sanksi bagi pelaku tindak
pidana KDRT dengan perbuatan kekerasan secara fisik. Berikut ini isi pasal 44
UU No. 23 Tahun 2004 tentang KDRT.
Mengapa
perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan?
Perempuan hampir selalu menjadi korban
kekerasan karena budaya dan nilai-nilai masyarakat kita dibentuk oleh kekuatan
patriarkal, dimana laki-laki secara kultural telah dipersilahkan menjadi penentu
kehidupan. Menurut Foucault, laki-laki telah terbentuk menjadi pemilik ‘kuasa’
yang menentukan arah ‘wacana pengetahuan’ masyarakat. Kekerasan terhadap
perempuan secara garis besar (pada umumnya) terjadi melalui konsep adanya
control atas diri perempuan, baik terhadap pribadinya, kelembagaan, simbolik
dan materi. Dengan demikian, ketika hubungan antar jenis kelamin dikonstruk
melalui hubungan dominasi-subordinasi, maka perempuan berposisi sebagai pihak
yang diatur oleh laki-laki. Bangunan relasi ini bekerja melalui seluruh system
social tadi yang kemudian melahirkan identitas jender, yang membedakan laki-laki dan perempuan.
Faktor penyebab terjadinya kekerasan fisik dan/atau seksual
terhadap perempuan yang dilakukan oleh pasangan yaitu 1. faktor ekonomi, disaat
ekonomi sedang berada di bawah, manusia psti rentan lebih sensitif. 2. Faktor
keluarga, bisa jadi pasnagan kita dulunya berada dari keluarga yang kurang harmonis,
dia selalu melihat ayahnya memukul ibunya lalu dia berstimulasi kalo dengan
mukul dapat mendisiplinkan pasangan, sama seperti Fatherless yang kehilangan
sosok ayah, sehingga sang ibu merasa kesepian lalu mengutarakan perasaany
kepada ayah, namun ayah marah-marah dan berkata kalo tugas laki-laki itu hanya
mencari nafkah (menganut patriarki). 3. Faktor perjodohan, dll.
Ada beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga diantaranya :
1. Keluarga berkewajiban mengamalkan ajaran agama. Ayah harus menjadi imam bagi istri, anak-anak dan keluarga karena bisa diibaratkan laki-laki adalah nahkoda di sebuah rumah tangga, dan ibu adalah imam bagi anak-anak dan mengurus rumah tangga.
2. Komunikasi itu penting apabiola sudah berumah tangga, maka dari itu komunikasi antara ayah, ibu dan anak harus dikembangkan dengan baik.
3. Wanita wajib mendidik anak sejak bayi, jangan memukulnya atau berkata kasar.
4. Jika ada masalah diselesaikan dengan dialog langsung dan dengan kepala dingin, karena jika dengan keadaan emosi seseorang akan sulit untuk mengambil keputusan yang tepat.
Pemerintah memiliki
upaya-upaya dalam penghapusan KDRT, salah satunya dengan mengeluarkan
undang-undang yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan
dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara
kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran rumah tangga. Pemerintah
juga mempunyai upaya-upaya guna mencegah dan melindungi segala bentuk KDRT.
Aparat kepolisian melakukan upaya tindak lanjut kepada pelaku KDRT. Maka dari
itu pemerintah telah mengatur tentang KDRT ini pada sebuah undang-undang yakni pada Pasal 44 UU KDRT tentang ketentuan pidana
bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dalam Pasal 44 UU No. 23 Tahun
2004 tentang KDRT ini memuat aturan terkait hukuman atau sanksi bagi pelaku
tindak pidana KDRT dengan perbuatan kekerasan secara fisik. Berikut ini isi
pasal 44 UU No. 23 Tahun 2004 tentang KDRT.
Komentar
Posting Komentar