Artikel UU CIPTAKER
Pengkajian Isu Oleh Bidang Hikmah
Undang-undang cipta kerja merupakan suatu aturan yang
telah di sahkan pada tahun 2020 sebagai usaha dalam merubah sistem dan aturan
tenaga kerja serta investasi yang berjalan di negara Indonesia. Sebelumnya pada
tanggal 20 Oktober 2019, Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya sebagai
presiden Indonesia periode kedua, menyampaikan rencana perihal omnibus law yang akan disiapkan yaitu
Undang-Undang (UU) Cipta Lapangan Kerja dan Undang-Undang (UU) Pemberdayaan
UMKM. Omnibus law merupakan konsep
baru yang digunakan di Indonesia untuk mengatasi permasalahan terkait rumitnya
perizinan dan tumpang tindihnya peraturan, serta mengganti beberapa norma
undang-undang ke dalam satu peraturan.
Hal-hal yang melatarbelakangi pemerintah untuk
menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) dikarenakan adanya perlambatan ekonomi
global, potensi stagnansi keadaan perekonomian di Indonesia, geopolitik (adanya
perang Rusia-Ukraina), dan belum optimalnya daya saing Indonesia dengan
negara-negara lainnya. Tujuan dirancangnya UU ini adalah untuk mengembangkan
iklim usaha yang kondusif dan aktraktif bagi investor, meningkatkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia, memberikan kepastian hukum kepada investor, dan menarik minat
Warga Negara Asing (WNA) untuk bekerja di Indonesia agar dapat membantu
pengetahuan guna meningkatkan kualitas SDM Indonesia.
Namun ada hal-hal lain yang juga melatarbelakangi
ditetapkannya UU Cipta Kerja ini. Berdasarkan pidato presiden, terdapat 3
faktor yang menjadi alasan UU Cipta Kerja ini harus disahkan, yaitu :
1. Mendorong terciptanya
lapangan kerja baru, khususnya di sektor
padat karya.
2. Memudahkan
masyarakat untuk membuka usaha, khususnya mikro
kecil.
3.
Mendukung upaya
pemberantasan korupsi dengan cara mengintegrasikan
sistem perizinan secara elektronik sebagai upaya menghilangkan pungutan. (Gian Asmara, 2020).
Pada tanggal 21 Maret 2023 pukul 10.39 WIB, melalui rapat
paripurnanya DPR berhasil mengesahkan Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja menjadi UU No. 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Sebelumnya Perppu ini
mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan dikarenakan hanya meng-copy paste
dari UU Cipta Kerja yang sebelumnya sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat
dan cacat secara formil berdasarkan keputusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam
putusan tersebut MK juga memerintahkan para pembentuk UU untuk melakukan
perbaikan dalam kurun waktu 2 tahun sejak putusan dilayangkan. Akan tetapi
bukannya memperbaiki, DPR malah memperlihatkan fallacy of logic (kesesatan
berpikir) dengan mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2022 yang isinya mirip dengan
UU Cipta Kerja, seakan-akan mengabaikan putusan MK yang meminta UU tersebut
diperbaiki.
Adapun
sejarah panjang disahkannya UU No. 2 Tahun 2022 yang diwarnai dengan pro dan
kontra ini adalah :
Ø
17
Desember 2019 – Lahirnya Omnibus Law
Istilah
Omnibus Law yang lahir dari ucapan Presiden Jokowi pada pidatonya, yang
kemudian mulai digarap oleh satgas Omnibus Law
Ø 2 April 2020 – Mulai Dibahas
RUU Omnibus
Law mulai dibahas oleh DPR dalam rapat peripurna ke-?
Ø 5 Oktober 2020 – Omnibus Law Resmi Disahkan
RUU Omnibus
Law resmi disahkan oleh DPR menjadi UU No. 11 Tahun 2020 dalam rapat paripurna
ke-17 meski diwarnai interupsi dan penolakan dari fraksi Demokrat dan PKS.
Bahkan di pertengahan rapat, Partai Demokrat memutuskan untuk keluar dari ruang
rapat.
Ø 13 Oktober 2020 - Jumlah Halaman
Berubah
Sejak
disahkan, draf Omnibus Law UU Cipta Kerja mengalami beberapa kali perubahan
jumlah halaman. Dari awalnya 905 halaman, kemudian menjadi 1.035 halaman, dan
setelah dirapikan menjadi 812 halaman final. Sekjen DPR Indra Iskandar
menjelaskan, perubahan halaman terjadi karena ukuran kertas yang berubah pula.
Selain itu, menurut Indra, memang ada penyempurnaan redaksi dan typo yang
dilakukan oleh Baleg-Sekjen DPR.
Ø 22 Oktober 2020– Jumlah Halaman Berubah Lagi
Jumlah halaman
UU Cipta Kerja yang semula 812 halaman, berubah lagi menjadi 1.187 halaman.
Menurut menteri Sekretaris Negara Pratikno, penambahan ini muncul karena ada
berbagai perubahan dari segi teknis, ukuran kertas, hingga jenis font. Sungguh
sangat labil:)
Ø 2 November 2020 – Resmi Diundangkan
Meski masih
memicu kontroversi di masyarakat, namun Presiden Jokowi memutuskan untuk tetap
menandatangi Omnibus Law UU Cipta Kerja. UU ini juga ditandatangani Menteri
Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada tanggal yang sama. Dengan demikian, UU setebal
1.187 halaman ini telah resmi diundangkan dan masuk dalam lembaran negara tahun
2020 dengan nomor 245.
Ø 3 November 2020 – Viral Salah Ketik
Meski telah
diundangkan, namun rupanya masih banyak salah ketik dalam draf Omnibus Law UU
Cipta Kerja. Mulai dari definisi minyak dan gas bumi di Pasal 1 Nomor 3 UU
Nomor 11 Tahun 2020 yang tidak perlu hingga Pasal 5 UU Nomor 11 Tahun 2020 yang
dinilai 'hilang'. Terkait hal itu, Mensesneg Pratikno menjelaskan, setelah
menerima berkas RUU Cipta Kerja dari DPR, pihaknya telah melakukan review dan
menemukan sejumlah kekeliruan secara teknis. Ia lalu meminta ke Sekretariat
Jenderal DPR untuk memperbaikinya.
Ø 25 November 2021 – Inkonstitusional Bersyarat
Rakyat
mengajukan banding ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-undang tersebut
secara formil dan materil. Setelah diadakan pemeriksaan secara formil dan
materil, MK menyatakan bahwasanya UU No. 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
cacat secara formil dan inkonstitusional bersyarat. MK memberi kesempatan ke
pada DPR untuk melakukian perbaikan pada UU tersebut dalam kurun waktu 2 tahun
jika tidak ingin UU tersebut menjadi Inkonstitusional Permanen.
Ø 30 Desember 2022 – Lahirnya Peraturan Baru
Namun bukannya
memperbaiki, DPR dan Presiden malah menerbitkan peraturan baru, yaitu Perpu No.
2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan dalih keg entingan yang memaksa karena
terjadinya kekosongan hukum.
Ø 21 Maret 2023 – Pengesahan Tanpa
Pertimbangan
Di bawah kendali Puan
Maharani, DPR tetap mengesahkan Perpu tersebut menjadi UU No. 2 Tahun 22
Tentang Cipta Kerja tanpa mendengarkan, apalagi mempertimbangkan penolakan
keras dari berbagai pihak, terutama rakyat.
Pasal-pasal bermasalah :
1. Penetapan Upah Minimum Kabupaten dan Kota
§ Pasal 88C
(1) Gubernur
wajib menetapkan Upah minimum provinsi.
(2) Gubernur
dapat menetapkan Upah minimum kabupaten/kota.
(3) Penetapan Upah
minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal
hasil penghitungan upah minimum kabupaten/kota lebih tinggi dari upah minimum
provinsi. Pada catatan pertama, dapat
disoroti bahwasanya pasal 88C ayat 2 yang mengatur bahwa Gubernur dapat
menetapkan upah minimum kabupaten/kota. Kata “dapat” pada pasal tersebut
artinya bisa ada, bisa juga tidak, tergantung gubernur.
2. Penentuan Formula Penghitungan Upah Minimum
§ Pasal 88D
(1) Upah
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung
dengan menggunakan formula penghitungan Upah minimum.
(2) Formula penghitungan
upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel
pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu
§ Pasal 88F
Dalam keadaan
tertentu, pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang
berbeda dengan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 88D ayat (2).
Pada poin
kedua, Partai Buruh menolak formula penghitungan upah minimum yang
mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu
yang diatur pada pasal 88D ayat 2. Penolakan tersebut, khususnya pada variabel
indeks tertentu, tidak lah jelas definisinya.
Pasal ini berbahaya karena pemerintah dapat mengubah formula upah minimum
sewaktu-waktu, yang mana berpotensi melindungi perusahaan yang tidak mampu
membayar kenaikan upah minimum dalam kondisi krisis, contohnya pada masa
pandemi Covid-19, namun dapat pula berpotensi menyengsarakan buruh atau
karyawan.
3.
Pasal tentang Outsourcing
Ketentuan mengenai
penggunaan tenaga alih daya atau outsourcing
dalam Perppu Cipta Kerja diatur dalam pasal 81 poin 19-21. Dalam Perppu Cipta
Kerja tidak ada ketentuan baku bidang apa saja yang boleh menggunakan tenaga
outsourcing sehingga semua jenis pekerjaan outsourcing bisa di perbolehkan.
Meski demikian Perppu menjelaskan bahwa aturan lebih jauh mengenai tenaga alih
daya ini akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP).
4.
Pasal tentang Pesangon Penetapan Pesangon
Dalam Perppu Cipta
Kerja tak ada perubahan dibanding UU Omnibus Law Cipta Kerja yang sebelumnya
telah dibatalkan MK. Pada Perppu yang
telah diundangkan pada 30 Desember 2022 itu, disebutkan bahwa pemberian
pesangon disesuaikan dengan masa kerja maksimal 9 kali upah bulanan ditanggung
oleh pengusaha. Ketentuan itu tertuang dalam pasal 81 ayat 47 yang mengubah
Pasal 156 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Merujuk aturan terbaru, setiap pegawai yang terkena PHK bisa mendapatkan uang
pesangon dan uang penghargaan dari perusahaan atau hanya mendapat salah satu
sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati. Pada aturan itu uang
pesangon bisa diterima maksimal 9 kali dari upah bulanan untuk masa kerja 8
tahun. Untuk perhitungan uang
penghargaan yang didapatkan oleh karyawan yang di PHK akan mendapat maksimal 10
kali upah untuk pekerja yang sudah mengabdi lebih dari 24 tahun. Uang
penghargaan paling rendah diberikan kepada pekerja yang telah tiga tahun
bekerja yaitu sebanyak dua kali upah bulanan. Selain pemberian pesangon dan
uang penghargaan, karyawan yang di-PHK juga berhak mendapatkan penggantian atas
cuti yang belum terpakai. Perusahaan juga wajib memberikan biaya atau ongkos
pulang ke tempat pekerja atau buruh diterima bekerja.
5.
Pasal tentang PHK
Sama halnya dengan
pasal perjanjian kerja dengan waktu tertentu Perppu juga tidak memberi
perlindungan yang pasti pada pekerja dari PHK sepihak oleh perusahaan. Perppu
memberi ruang pada subjektivitas perusahaan dalam menilai seorang karyawan bisa
dipecat atau tidak.
6.
Pasal tentang TKA (Tenaga Kerja Asing)
Hal yang dinilai
berpotensi merugikan buruh dan pekerja dalam hal tenaga kerja asing ini adalah tidak adanya
aturan ketat untuk mengizinkan TKA masuk ke Indonesia. Begitu juga sebaliknya.
Ketentuan itu membuat buruh kasar atau unskilled worker tidak terlindungi.
Karena itu, Serikat Buruh meminta agar pemerintah memiliki aturan yang jelas
mengenai Tenaga Kerja Asing.
8.
Pasal tentang Pengaturan Waktu Kerja
§ Pasal 79 UU Nomor 13 tahun 2003
Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), meliputi:
a.
istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja
selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk
jam kerja
b.
istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu
§ Pasal 79 Perppu Nomor 2 Tahun 2022.
Waktu istirahat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada Pekerja/Buruh
paling sedikit meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja
selama 4 (empat) jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk
jam kerja
b. istirahat mingguan I (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu. Merujuk aturan terdahulu,
perusahaan wajib memberikan istirahat dan cuti kepada pekerja. Istirahat
meliputi istirahat antara jam kerja sekurang kurangnya setengah jam setelah
bekerja selama 4 jam terus menerus. Ada juga istirahat mingguan dengan dua
alternatif yaitu satu hari untuk enam hari kerja dalam seminggu atau dua hari
untuk lima hari kerja dalam seminggu.
Berbeda dengan Undang-undang terdahulu, Perppu Nomor 2 tahun 2022 pasal 81
mengubah pasal 79 UU ketenagakerjaan dengan memberikan hak libur dan cuti lebih
sedikit. Ayat 2 hanya menyebut istirahat mingguan diberikan 1 hari untuk 6 hari
kerja dalam 1 minggu. Ketentuan libur 2 hari dalam satu minggu dihapus.
9.
Pasal tentang Pelaksanaan Cuti
Pasal 79
Selain waktu
istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Pada
Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, perusahaan wajib
memberikan cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah karyawan
bekerja satu tahun. Selain itu ada pula istirahat panjang sekurang-kurangnya 2
bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 bulan
bagi pekerja yang telah bekerja selama 6 tahun. Aturan istirahat dan cuti yang termuat dalam
UU Nomor 13 tahun 2003 menekankan kata
kewajiban perusahaan. Dengan begitu, setiap pekerja dan buruh memiliki hak
yang sama dan dijamin oleh undang-undang.
Berbeda dengan aturan terdahulu, Perppu hanya mewajibkan perusahaan
memberikan cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja atau buruh
bekerja setahun. Sedangkan untuk istirahat atau cuti panjang tidak lagi menjadi
kewajiban perusahaan
Polemik keberlangsungan Ciptaker
Alasan mendesak merupakan alasan basi yang dilontarkan oleh
pemerintah alih-alih guna mengesahkan Perppu Ciptaker pada 30 Desember 2022.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Menkopolhukam Mahfud MD, dia berkata bahwa
penerbitan Perppu ini murni karena alasan mendesak sebagaimana putusan MK Nomor
138/PUU/VII/2009
Jika alasannya mendesak maka tugas pemerintahlah menjelaskan
seberapa mendesak keadaan saat ini sehingga apa urgensi mengeluarkan Perppu No
2 Tahun 2022. Apakah resesi global, inflasi, kondisi geopolitik yang tidak
stabil, atau yang lainnya yang menyebabkan Perppu ini ditandatangani oleh
Presiden. Alih-alih mengkaji dan membenarkan ulang UU No 11 Tahun 2020 atas
arahan MK yang dinilai inkonstitusional justru malah membuat Perppu No 2 Tahun
2022 yang jelas-jelas melanggar mandat MK untuk membetulkan UU No 11 Tahun 2020
yang dinilai inkonstitusional bersyarat. Apakah mereka kira dengan mengeluarkan
Perppu No 22 Tahun 2022 dapat menghilangkan status inkonstitusional dari tubuh
UU No 11 Tahun 2020? Tentu tidak.
Usai Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember
2022 lalu, sejumlah Pemohon mengajukan permohonan pengujian formil dan materil
perpu tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana untuk memeriksa
permohonan Nomor 5/PUU-XIX/2023 dan Nomor 6/PUU-XIX/2023 dalam perkara pengujian Perpu 2/2022 tentang Cipta
Kerja digelar di Ruang Sidang Panel MK pada Kamis (19/1/2023).
Persidangan dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams
didampingi Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, dan Hakim Konstitusi Daniel
Yusmic P. Foekh. Kuasa hukum Perkara Nomor 5/PUU-XIX/2023, Viktor Santoso
Tandiasa dan Zico Leonard secara bergantian menyatakan Perpu Cipker tersebut
tertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 22A UUD 1945
serta Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 dan Nomor 91/PUU-XVII/2020.
Tidak perlu banyak ahli untuk menginterpretasikan bahwa
Perppu No 2 Tahun 2022 gagal. Cukup MK melalui beberapa pemohon yang mengajukan
keberatan terhadap disahkannya Perppu tersebut menandakan bahwa ada yang tidak
baik-baik saja dalam pembuatan Perppu ini. Yang paling disoroti keanehannya
adalah masalah administrasi dan tata cara urutan pengesahan Perppu ini. Jadi
jika dijelaskan secara singkat akan menjadi seperti ini alurnya.
Pada Kamis 25 November 2021, MK mengamanatkan bahwa UU No 11
Tahun 2020 tentang ketenagakerjaan adalah UU yang inkonstitusional bersyarat.
Dengan artian UU tersebut tidak layak di terapkan karena masih ada persayaratan
yang belum terpenuhi. Dalam putusan yang berjumlah 448 halaman tersebut MK
memberi amanat bahwa bisa saja UU No 11 Tahun 2020 dapat di terapakan asalkan
pemerintah harus memperbaiki isi UU No 11 Tahun 2020 tersebut selama 2 tahun
terhitung sejak putusan MK. Apabila dalam tenggat waktu tersebut tidak ada
perbaikan maka UU No 11 Tahun 2020 dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Namun alih-alih pemerintah mematuhi Amar Putusan yang
dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman, pemerintah melalui Presiden Jokowi justru
membuat Perppu pengganti UU No 11 Tahun 2020 yang sudah disahkan menjadi UU
pada tanggal 21 Maret 2023 lalu. Sehingga dapat dilihat bahwa pemerintah dengan
terang-terangan melangkahi putusan MK terkait pengesahan UU Ciptaker ini secara
sepihak.
Terdapat berbagai macam
pendapat mengenai pengesahan UU Cipta Kerja ini dari sudut pandang pengamat
politik hingga buruh. Mayoritas dari keresahan mereka adalah mengenai alasan
pengesahan UU Ciptaker yang dibuat secara terburu-buru dan mengabaikan putusan
MK mengenai permasalahan ini yang tidak melibatkan masyarakat di dalamnya. Hal
ini memperjelas aroganisasi kekuasaan yang di pegang dalam dunia ekonomi,
tenaga kerja di Indonesia dan mengabaikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat
terutama pada buruh yang bekerja.
Komentar
Posting Komentar