Jumat, Februari 26, 2021

PENENTU KESAN DALAM WAKTU


        "Kurasa tidak buruk jika aku menyiapkan kejutan menggunakan tali dan kursi dengan sengaja agar mereka merasa bersalah. Emm, bukan. Agar setidaknya mereka sadar tentang apa itu kata derita. Naik saja ke kursi itu, paling-paling tidak sesakit perasaanku."

                                     

Pagi hari yang selalu kulewati seperti biasa, meminum segelas susu hangat dan sarapan seorang diri. Berpamitan dengan orangtua yang melakukan kegiatannya masing-masing seperti pagi biasanya. Mereka selalu mempersiapkan kemeja kerja, map yang berisi berbagai laporan hasil kerja, dan meminta asisten rumah tangga untuk mempersiapkan kendaraan untuk mengantarkan mereka ke kantor. Hari saat ada pertemuan penting, mereka menggunakan dua mobil yang berbeda. Aku selalu diantar seorang sopir  menggunakan mobil dan aku sudah terbiasa merasakan hukuman siswa SMP yang terlambat dengan alasan yang selalu sama, jalanan yang ramai dan macet. Untuk itu, aku memutuskan untuk membawa motor sendiri sejak masuk SMA tahun ini. Aku ingin menjadi seorang anggota marching band disini. Aku ingin mewujudkan mimpiku untuk menjadi seorang marching band player yang sebenarnya, hidup bahagia dengan waktuku yang kudedikasikan pada alunan musik khas dari berbagai instrumen dan mendalaminya. Aku dulu pernah tergabung dalam drum band SMP, dengan kelihaianku sebagai melody high brass player. Tiupan khas yang harus dimiliki oleh melody high-brass player dengan nada tinggi dan bermain sesuai tempo dengan rapi. Sudah pernah menjalani kurang lebih 2 tahun bermain terompet, aku merasa ingin melakukan hal lain dalam marching band atau drumband sekolah baruku ini. 

Sekolahku memiliki pamor yang luar biasa baik di kota ini, aku berusaha bergaul dengan caraku yang komunikatif dengan pendekatan secara perlahan dan tidak berlebihan dihadapan teman teman baruku. Aku berharap banyak saat masuk di kelas baruku ini yang memiliki berbagai karakter siswa, semoga aku dapat bergaul dengan baik dan membangun pertemanan dengan mereka. Mulai dari seorang mantan drum majorette disuatu marching band SMP, pemain basket, hingga seorang yang memiliki hobi otomotif bahkan menjadi pembalap saat melepas status siswa di luar sekolah. Baiklah, aku tidak mendapat kesan baik saat perkenalan di kelas baruku ini. Aku hanya mendapat senyuman sinis dari segerombol siswa yang duduk di pojok kelas sambil berbisik satu sama lain. Banyak yang tidak memperhatikanku saat perkenalan itu, bahkan hari itu aku belum mendapatkan teman sebangku. Itu mungkin karena mereka menganggap perkenalan itu tidak terlalu penting dan membosankan. Aku mencoba bergaul kembali, tapi hanya sedikit respon yang aku dapatkan. Suasana yang sama masih mendominasi hingga saat saat menunggu pulang sekolah. Semoga aku benar, mereka hanya letih menghadapi hari pertama sekolah setelah selama ini meninggalkan dunia sekolah beberapa minggu. 

Untuk setahun terakhir menghadapi teman satu kelasku kali ini, aku masih bisa menahannya. Aku masih bisa bersabar dengan beberapa teman laki-lakiku yang selalu protes saat aku bergabung dalam kelompok belajarnya, yang pada akhirnya aku boleh bergabung dengan syarat aku yang menyelesaikan seluruh kegiatan pembelajaran, termasuk tugas kelompok dan tugas individu mereka. Aku merasa mereka sangat membutuhkanku dalam kelas ini. Mereka meminta sedikit waktuku untuk membantu menyelesaikan pekerjaan dalam buku tugasnya dengan tulisanku. Tidak hanya itu, aku sering kehilangan kamus bahasa jerman yang kubawa, dan selalu mendapatkan tertawaan saat aku dihukum oleh guru bahasa jerman. Entah apapun hukuman itu, berupa bernyanyi, keluar kelas, atau hukuman lainnya. Dan setelah hukuman terselesaikan, mereka berhenti tertawa dan ada yang memberikan beberapa lembar dari kamus bahasa jermanku. Ternyata mereka menemukan beberapa sobekan kamusku yang hilang. Terkadang aku melihat asap yang mengepul di sebelah jendela luar kelas, bersamaan dengan hilangnya beberapa bukuku. Tapi aku berusaha tidak beranggapan negatif atas semua itu, mungkin mereka hanya ingin menguji kesabaranku apabila memang benar asap itu adalah hasil pembakaran bukuku yang sengaja mereka ambil, atau aku menjatuhkannya dan mereka menganggap buku itu memang sengaja kubuang sehingga mereka membakarnya. Dalam beberapa projek individu berupa kerajinan tangan, aku selalu mendapatkan nilai yang terbaik dalam data guru. Namun aku selalu lalai dalam merawatnya, dalam berbagai projek aku sering melihat hasil karyaku hancur. Aku pura-pura bingung mengapa hal itu bisa terjadi, sebenarnya aku tahu bagaimana kajadiannya.

Aku ingin ada harapan yang kuharapkan lebih baik di tahun ajaran baru ini. Sepertinya, aku akan mendapatkan arti teman yang sebenarnya. Sebagai seorang siswa, seorang pelajar laki-laki, dengan sangat mudah aku berkomunikasi dengan teman perempuan, ini sangat berbanding terbalik dengan almarhum saudara kembarku. Sudahlah, untuk apa aku mengingatnya lagi? Aku mulai banyak mengenal orang lain, dengan karakternya masing-masing, serta bagaimana upayaku untuk bisa berkomunikasi dengan baik sesuai dengan karakteristiknya. Dari mulai seseorang yang emosional, seseorang yang sulit diajak bercanda, hingga seseorang yang memiliki pemikiran berkelas tinggi. Namun apalah daya, aku hanya bisa mengenal mereka dan bahkan mereka tidak memberi tanda bahwa aku dikenal. Mereka seperti tidak merasakan kehadiranku. Adakah yang salah dariku? Aku masih merasa sulit untuk berhadapan dengan siswa lainnya. Bukannya aku takut atau minder, aku merasa sengaja dijauhi untuk beberapa alasan yang mereka buat. Aku selalu berpakaian rapi, aku juga seperti mereka, bersekolah dengan tas hitam, sepatu hitam, serta tidak memiliki kotak pensil. Aku siswa yang sewajarnya. Apakah aku berbeda? Haruskah aku menjadi orang lain untuk bisa hidup normal dan dikenal dengan baik? Apakah seorang siswa sepertiku adalah orang yang tidak patut untuk hidup?

Aku ingat, aku harus semangat dengan lingkunganku yang cukup mendukungku untuk bertahan sebagai diriku sendiri.  Aku adalah seorang colour guard player yang baru setahun tergabung di marching band sekolah ini. Memang tidak sewajarnya seorang laki-laki menjadi CG player, tapi aku merasa percaya diri. Suatu kebanggaan tersendiri dapat bermain bendera dengan alunan musik marching band saat aku SMA. Hal itu entah bisa atau tidak kubanggakan di sekolah ini. Aku memiliki impian untuk menjadi marching band player yang sebenarnya. Sepertinya seluruh anggota marching band kagum atas kelihaianku dan seorang siswa baru dari SMP Semesta Semarang yang bisa memainkan rifle serta bendera diantara colour guard player yang lain. Tentu saja, hanya dua laki-laki yang mampu dan bersedia bermain dengan bendera dalam genggaman tangan. Sepuluh orang lainnya adalah siswi-siswi yang merupakan anak baru dengan kata lain adik-adik kelasku. Bisa dikatakan aku tidak pernah absen dalam seluruh kegiatan latihan marching band ini, kecuali pada minggu ini.

Beberapa waktu, aku hanya bisa terbaring dengan tumpukan selimut, remote TV, serta ponsel. Aku membaca pesan yang baru muncul dalam notifikasi layar ponselku, Tya bertanya tentang kabarku dan berlanjut pada percakapan via chat. Seorang pemain marching bell yang berpenampilan menarik dengan rambut panjang, bibir tipis, serta gigi taring unik yang memberi kesan manis diwajahnya itu memberi perhatian yang tidak biasa padaku sejak hari itu. sebenarnya aku sudah memiliki pandangan khusus padanya sejak lama, sejak salah satu adik kelas yang cantik menghancurkan harapanku karena sikapnya yang buruk sebagai seorang siswi ketua OSIS salah satu SMP ternama. Sekian lama aku behubungan dengannya, belum dalam iktan yang pasti, aku ingin memastikan sebenarnya apa yang dia perlakukan padaku selama ini. Aku akan menanyakan suatu hal besok, saat dia meminta aku menemuinya disamping ruang olahraga. 

Aku mempersiapkan tidak hanya susunan kata-kata. Aku mempersiapkan lebih dari tu. Mulai dari boneka, bunga, tas warna merah, sneaker hijau yang sudah lama dia inginkan, serta greentea cake yang dia suka telah aku siapkan. Aku tidak ingin harapanku hancur untuk yang keskian kalinya. Aku berharap ini akan berhasil. Dengan membawa kotak besar yang berisi banyak benda yang istimewa baginya, aku masih belum bisa merasa cukup untuk itu. 

Aku mulai melangkahkan kaki menuju tempat itu, tempat yang kita janjikan sebagai tempat untuk bertemu sepulang sekolah. Langkahku seketika terhenti dengan perasaan yang sulit digambarkan. Mataku tidak bisa fokus pada pemandangan yang tidak dapat diterima oleh isi kepalaku. Aku hanya tahu, seseorang yang mendekap Tya adalah pemain basket yang juga merupakan kakak kelasku saat ini. Setelah menghela napas panjang, aku berbalik arah – berlari menjauh dengan rasa sesal dan kecewa dengan meninggalkan sekotak hadiah untuknya. Hari ini terulang kembali, untuk yang kesekian kalinya aku dibuat kecewa oleh perempuan. Benar saja, dia adalah perempuan yang menghancurkan harapanku. Sia-sia waktu. Semua teman perempuan merasakan hal yang sama saat aku berinteraksi dengan mereka kecuali Tya. Aku merasa istimewa dibuatnya. Tapi sejak saat itu, aku mengerti perasaan semua perempuan adalah sama terhadapku. Mereka menganggapku teman. Mungkin aku harus menghancurkan perasaanku sendiri sebelum sederet perempuan menghancurkannya. Perasaanku sangat kacau, meninggalkan gerbang sekolah dengan pikiran yang sangat rumit. Aku menjalankan motorku dengan perlahan menuju rumah, aku harus mempersiapkan kata-kata untuk menyembunyikan sakit ini saat aku di rumah nanti.

Aku masuk ke dalam rumah dengan salam yang sengaja aku kencangkan dengan senyuman palsu yang tergambar secara jelas pada raut mukaku. Hanya ada beberapa asisten rumah tangga, dan seorang adik perempuanku yang mengidap post-traumatic stress disorder sejak saudara kembarku meninggal setahun yang lalu.                                            “Kak Rino, pacar kakak yang namanya Risty kok nggak pernah diajak main kesini lagi?”,                                       “Iya, kak Risty pergi sama temennya...”, jawabku hampir setiap hari saat mendapatkan pertanyaan itu atau sejenisnya. Rino adalah seorang yang baik hati, memiliki kesetiaan hati pada seorang perempuan cantik bernama Risty. Aku kagum dengan pribadinya yang sangat mudah bergaul dengan teman laki-laki sebayanya. Jauh berbeda denganku yang tidak diharapkan oleh orang yang aku anggap teman, yang aku anggap istimewa lebih dari teman, bahkan kehadiranku tidak pernah dianggap oleh adik kandungku sendiri. Aku harus memasang wajah yang senang dihadapan orangtuaku saat makan malam nanti. Aku yakin, untuk mempersiapkan HUT kemerdekan Indonesia pasti akan menguras waktu. Aku harus menjelaskan itu, berharap kedua orangtuaku akan bangga atau setidaknya mendukungku tanpa syarat. Tapi keyakinanku berkata itu sangatlah tidak mungkin. Jadi, aku harus bersiap menerima beberapa aturan yang harus aku terima. 

Keyakinanku ternyata benar adanya, Ayah memintaku untuk belajar mulai jam 8 malam sampai jam 1 dini hari setelah latihan marching band. Aku harus mengiyakannya, karena aku sudah berkomitmen untuk begabung dan untuk mendapat persetujuan Ayah, aku harus setuju atas segala perintah yang ada. Setelah beberapa hari menjalankan hidup dari sekolah, latihan, hingga belajar 5 jam di rumah, aku merasa sangat letih dan aku jatuh sakit. Dengan mata sayu, tangan lemas gemetar, serta keringat yang bercucuran dalam dinginnya udara AC kamarku saat belajar jam 11.48 malam, hanya Bibi Tamini  yang melihtku seperti itu. Dia memintaku untuk beristirahat saja. Saat Bibi Tam keluar dan menutup pintu kamarku, Ayahku melihatnya dan tentu saja dia dimarahi oleh Ayahku. Aku merasa bersalah dan keluar kamar untuk menjelaskan semuanya.                                                   “Dengar kata Ayah! Marching band itu nggak akan bikin kaya! Lihat tanganmu, lebam semuanya! Lebih baik kamu keluar dari kegiatan nggak berguna itu! Ayah nggak peduli, kalau kamu tetap mau ikut kelompok yang bikin kamu peyakitan seoerti ini, Ayah tambah jam belajar kamu lagi!”, bentak Ayah yang hanya kubalas dengan anggukan lalu kembali ke kamar tidur. Aku ingin impianku sebagai marching band player terwujud, aku hanya bisa mengatakan iya untuk itu. 

Aku masih saja bisa menjalani hidupku yang kuhabiskan dengan permintaan orang lain yang harus kuturuti. Tidak salah. Aku memang baru menyadarinya selama ini. Aku mulai frustasi atas keadaan hidupku ini. Tetap sabar ketika teman temanku memanfaatkanku, membakar buku dan kamusku, menghancurkan proyek karyaku, mengiyakan orang yang mengekangku, menjadi orang lain demi kenyamanan orang lain, serta membiarkan diriku tersakiti untuk kepuasan mereka. Aku harus putuskan. 

Mengapa aku bisa baru sadar setelah sekian lama? Apakah karena perbincanganku dengan seseorang waktu itu? Anggota paskibra yang melakukan latihan gabungan dengan marching band pada Sabtu sore yang terik itu. Aku menyadarinya, aku merasa lebih tenang beberapa menit berinteraksi dengannya, kalimatnya membuat aku tidak memikirkan waktu yang berjalan seperti biasa. Aku melupakan waktu belajarku, materi kimia, matematika, fisika, dan lain sebagainya. Aku melupakan waktu saat merasakan sakitku menghadapi beberapa perempuan yang pernah masuk dalam hidupku. Aku melupakan waktu saat aku harus berpura-pura menjadi orang lain. Meninggalkan kesan yang tidak biasa. Aku merasakan hal yang berbeda saat dia memberikanku sebotol minuman ringan itu. Saat dia bilang hatinya berdegup tak biasa, sebenarnya aku juga tapi kusembunyikan. Apakah ini normal? Bukankah aku sudah kehabisan cinta?  Aku harus segera melupakan kesan dalam waktu itu. Namun itu sangat sulit. Sulit untuk melupakan kesan yang membuat pemikiranku sadar sepenuhnya. Aku bertekad, aku hidup bukan dengan waktu mereka, aku hidup dengan waktuku. Aku tidak harus merasa sakit dengan menuruti mereka yang mengekang waktuku. 

Setiap akhir dari cerita dibuat sesuai harapan penulis, begitu juga dengan kehidupan manusia. Meskipun Tuhan memberikan takdir, setidaknya ada kalanya manusia dapat mengusahakan sesuatu. Saat ini aku harus putuskan. Apakah semua orang akan bahagia dengan kepedulianku terhadap urusan mereka? Mereka saja tidak peduli dengan waktuku sendiri?  Bahkan aku tidak yakin mereka menaruh perhatian atau setidaknya sekadar merasa ‘tidak enak’ jika aku merasa tidak nyaman. Ini artinya aku egois tapi bukan untukku. Tidak selamanya egois untuk diri sendiri itu buruk. Bukankah ini hidupku? Sakit hati? Jelas iya, jika ada sayatan mungkin kini saatnya menjahit luka dengan benang emas dan baja. Mulai saat ini aku akan memberikan kesempatan pada diriku, memilih yang mana yang akan memberi rasa nyaman.

    "Selama tidak ada harapan mengubah sifat orang lain, siapa lagi yang kamu harapkan selain dirimu sendiri? Jika kamu merasa waktumu digunakan orang lain, kemampuanmu diharapkan, pikirkan lagi, artinya kamu lebih berharga dari mereka, mereka tidak bisa berharap dengan diri mereka sendiri. Jangan buat hal itu jadi sesuatu yang membuatmu benci pada diri sendiri, karena itu tugas orang lain."


5 komentar:

Pandangan dan Hukum Mengapa Pacaran Dilarang Menurut Islam

  oleh bidang Tabligh PK IMM Al-Ghozali Pacaran, sebagai budaya populer di banyak budaya, sering kali bertentangan dengan nilai-nilai dan ...