Bid’ah dan Khilafiyah dalam perspektif Tarjih Muhammadiyah
Latar Belakang
Terminologi bid’ah saat
ini menjadi satu tema kontroversial yang tidak jarang menimbulkan pro dan
kontra ditengah kehidupan keberagamaan masyarakat khususnya di Indonesia.
Sebagian kelompok dan aliran dalam Islam memahami serta menyikapi Bid’ah ini
sebagai suatu hal yang qat’i dilalah, yaitu sesuatu yang bersifat pasti dan
tidak menerima ruang ijtihad serta implementasi lain, sehingga implikasi dari
pemahaman ini adalah timbulnya kekacauan pemahaman ditengah masyarakat.
Menunjukkan minimnya kesadaran masyarakat dalam mengimplementasikan nilai-nilai
toleransi dalam beragama, khususnya hal-hal yang menyangkut masalah khilafiyah.
Pokok Bahasan
Bid’ah
Dalam fatwa Tarjih, Bid’ah
diartikan sebagai perbuatan atau perkataan yang dianggap sebagai
‘ummurut-ta’abbudiy’ atau urusan peribadatan yang baru yang tidak pernah
diperintahkan atau dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW semasa hidupnya.
Pentingnya mengikuti nash-nash yang shahih dan maqbul ditekankan dalam fatwa
ini. Semua ‘umurut-ta’abbudiy’ seperti Shalat, Zakat, Puasa, Haji, dan lainnya
didasarkan pada petunjuk yang sah dan diterima. Sebagai contoh, hadis
Rasulullah SAW yang mengatakan “Shalatlah kamu sebagaimana engkau melihatku
shalat” (HR.Al-Bukhori).
Khilafiyah
Khilafiyah bukanlah
bid’ah, akan tetapi khilafiyah adalah perbedaan pendapat yang timbul karena
perbedaan dalil dan metodologi. Perbedaan dalil bisa jadi karena memang rujukan
dalil yang berbeda, bisa jadi karena tafsir dan pemahaman karena dalil tersebut
memang memberi peluang untuk difahami berbeda karena mengandung keboleh jadian
dan alternatif lain (semisal lafadz musytarak). Perbedaan pemahaman tersebut
adalah sebuah keniscayaan dan hal tersebut ditolerir oleh islam.
Usaha untuk memurnikan ajaran islam bukanlah pekerjaan
yang ringan, hal itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua faktor:
1. Terdapat kelompok-kelompok masyarakat Islam yang
cukup tangguh yang menyenangi dam mempertahankan islam tetap terbelenggu dengan
Tahayyul, Bid’ah, Khufarat dan berbagai perbuatan syirik. selain TBK (Tahayyul,
bid’ah, khuffarat) timbul lagi belenggu baru baik yang datang dari dalam
masyarakat muslim sendiri maupun dari luar sebagai akibat dari lemahnya
kepribadian seorang muslim. Semua itu terpengaruh juga oleh adanya kemajuan
teknologi, ilmiah, ekonomi, kebudayaan, maupun politik. Mereka mempertahankan tradisi
amaliah yang sudah berjalan turun temurun, yang telah mentradisi, seolah-olah
sudah menyatu dan tidak bisa disatukan lagi dengan ajaran Islam yang
sebenarnya. Padahal jika ditelusuri dengan seksama tidak ditemukan hubungannya
sama sekali dengan Al-Qur’an maupun dengan As-sunnah, bahkan malah bertentangan
dengan Al-Qu’an maupun dengan As-sunnah.
2. Lemahnya SDM yang mumpuni dalam Muhammadiyah yang ingin memurnikan ajaran Islam dari segala bentuk yang tidak islami, yang tidak ditemukan rujukannya dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, mereka menginginkan Al-qur’an harus bersih dari tahayyul, bid’ah, dan khufarat serta pemikiran-pemikiran yang tidak islami. Mereka bermaksud Kembali kepada Al-qur’an dan As-sunnah dalam segala aspek ajarannya dan mempergunakan akal sehat yang sesuai dengan kaidah Al-qur’an maupun As-sunnah. Hanya saja kendala yang dihadapi adalah minimnya kemampuan untuk mengakses kedua sumber pokok ajaran islam yaitu Al-qur’an dan As-sunnah terutama dengan sistem pemikiran salafi, yang semangat mereka cukup tinggi dan simpetisannya cukup besar. Akibatnya dari kekurangan ini adalah tercetusnya berbagai pikiran dan pendapat, yang bila dikondisikan kepada Al-qur’an dan As-sunnah secara benar terdapat ketidak sesuaian bahkan malah keliru.
Kesimpulan yang bisa kita ambil yaitu perkembangan ini
telah memberikan warna dan corak sudut pandang keagamaan yang beragam. Tarjih
sebagai suatu proses memahami nash-nash keagamaan yang memiliki dasar referensi
kuat pada Al-qur’an dan As-sunnah yang dipahami oleh Muhammadiyah sebagai
proses pembaharuan (Tajdid) ataupun perbaikan (Islah). Perkembangan budaya dan
Bahasa yang berubah seiring waktu menjadikan beberapa nash keagamaan sulit
dipahami oleh masyarakat umum, dan juga kemajuan zaman dan teknologi memberikan
satu dimensi baru dalam kesalahan penafsiran pandangan keagamaan terkait halal
dan haram atas nama modernisasi. Persoalan keberagamaan dan kesalahan
penafsiran ini juga sangat terkait dengan pemahaman kita terhadap bid’ah dan
khilafiyah. Khilafiyah adalah keberagamaan sudut pandang yang bukan merupakan
bid’ah. Tarjih dan Tajdid, adalah jiwa dinamis yang akan selalu menolak bid’ah
dan khufarat, dikarenakan tidak berdasarkan kepada Al-qur’an maupun As-sunnah.
Komentar
Posting Komentar