Fiqih Darah Wanita
Tiga
macam darah yang ditanyakan keluar dari satu jalan. Namun namanya berbeda,
begitu pula hukum-hukumnya, karena perbedaan sebab keluarnya.
1. Darah
nifas sebabnya jelas, yaitu darah yang keluar dari seorang wanita karena melahirkan.
Darah nifas ini merupakan sisa darah yang tertahan di
dalam rahim sewaktu hamil. Bila seorang wanita telah melahirkan kandungannya,
darah itu pun keluar sedikit demi sedikit. Bisa jadi waktu keluarnya
lama/panjang, dan terkadang singkat. Tidak ada batasan minimal waktu nifas ini.
Adapun waktu maksimalnya menurut mazhab Hambali adalah 40 hari, dan bila lebih
dari 40 hari darah masih keluar sementara tidak bertepatan dengan kebiasaan
datangnya waktu haid maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Namun menurut
pendapat yang shahih, tidak ada pula batasan waktu maksimal dari nifas ini.
2. Darah
yang keluar bukan karena sebab melahirkan adalah darah haid sebagai suatu
ketetapan dan sunnatullah atas seorang wanita.
Di mana bila si wanita sudah dapat hamil dan
melahirkan maka secara umum akan datang kepadanya haid di waktu-waktu tertentu,
sesuai dengan keadaan dan kebiasaan si wanita. Bila seorang wanita hamil
umumnya ia tidak mengalami haid, karena janin yang dikandungnya beroleh
sari-sari makanan dengan darah yang tertahan tersebut.
Keluarnya
darah haid menunjukkan sehat dan normalnya si wanita. Sebaliknya tidak
keluarnya darah haid menunjukkan ketidaksehatan dan ketidaknormalan seorang
wanita. Makna ini disepakati oleh ahli ilmi syar’i dan ilmu kedokteran, bahkan
dimaklumi oleh pengetahuan dan kebiasaan manusia. Pengalaman mereka menunjukkan
akan hal tersebut. Karena itulah ketika memberikan definisi haid, ulama berkata
bahwa haid adalah darah alami yang keluar dari seorang wanita pada waktu-waktu
yang dimaklumi.
Menurut
pendapat yang shahih, tidak ada batasan umur minimal seorang wanita mendapatkan
haid. Begitu pula batasan waktu minimal lamanya haid, sebagaimana tidak ada
batasan maksimalnya. Tidak ada pula batasan minimal masa suci di antara dua
haid. Bahkan yang disebut haid adalah adanya darah, dan yang disebut suci
adalah tidak adanya darah. Walaupun waktunya bertambah atau berkurang, mundur
ataupun maju, berdasarkan zahir nash-nash syar’i yang ada, dan zahir dari
amalan kaum muslimin. Juga karena tidak melapangkan bagi wanita untuk
mengamalkan selain pendapat ini.
3. Adapun
istihadhah adalah darah yang keluar dari seorang wanita di luar kebiasaan dan
kewajaran, karena sakit atau semisalnya.
Bila
seorang wanita terus menerus keluar darah dari kemaluannya, tanpa berhenti,
maka untuk mengetahui apakah darah tersebut darah haid ataukah darah istihadhah
bisa dengan tiga cara berikut ini secara berurutan :
i.
Apabila sebelum mengalami hal tersebut ia memiliki
kebiasaan (‘adah) haid maka ia kembali pada kebiasaannya (‘adah-nya).
Ia teranggap haid di waktu-waktu ‘adah tersebut,
adapun selebihnya berarti istihadhah. Selesai masa ‘adah-nya ia mandi dan boleh
melakukan ibadah puasa dan shalat (walau darahnya terus keluar karena wanita
istihadhah pada umumnya sama hukumnya dengan wanita yang suci, pent.).
ii.
Bila ternyata si wanita tidak memiliki ‘adah dan
darahnya bisa dibedakan.
Di sebagian waktu darahnya pekat/kental dan di waktu
lain tipis/encer, atau di sebagian waktu darahnya berwarna hitam, di waktu lain
merah, atau di sebagian waktu darahnya berbau busuk/tidak sedap dan di waktu
lain tidak busuk, maka darah yang pekat/kental, berwarna hitam, dan berbau
busuk itu adalah darah haid. Yang selainnya adalah darah istihadhah.
iii.
Apabila si wanita tidak memiliki ‘adah dan tidak dapat
membedakan darah yang keluar dari kemaluannya, maka di setiap bulannya (di
masa-masa keluarnya darah) ia berhaid selama enam atau tujuh hari karena adanya
hadits-hadits yang tsabit dalam hal ini.
Kemudian ia mandi setelah selesai enam atau tujuh hari
tersebut walaupun darahnya masih terus keluar. Sedapat mungkin ia menyumpal
tempat keluarnya darah (bila darah terus mengalir) dan berwudhu setiap kali
ingin menunaikan shalat.” (Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 23-26
sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 263-265)
Wallahu
ta’ala a’lam bish-shawab.
*telah Disampaikan Dalam Kajian IMMawati IMM AL-Ghozali
Komentar
Posting Komentar